Selasa, 22 November 2011

Oemah No. 187

" Oemah No. 187 terletak di Jl. Imogiri timur Yogyakarta. Rumah ini adalah rumah yang sangat bersejarah bagi ku pribadi. Aku lahir dan dibesarkan di rumah ini, rumah yang menurut kami tidak begitu indah namun penuh kehangatan. Almarhum Ayah menempati rumah ini pada tahun 1990, waktu itu aku masih berada di pangkuan Tuhan. Aku terlahir pada tahun 1992, tepatnya 2 tahun setelah almarhum Ayahku menempatinya. Selain menjadi tempat berlindung kami, rumah ini juga sebagai ladang bagi kami. Ladang yang mencukupi segala kebutuhan kami. Di rumah ini aku tinggal bersama Ayah dan Ibuku saja, keempat Kakakku tinggal bersama nenek di desa. Dulu, disekitar rumah ini tak ubahnya sebuah desa dan persawahan tempat dimana aku bermain bersama teman - teman masa kecilku. Namun saat ini semuanya berubah seiring kemajuan jaman. Persawahaan yang dulu sangat sejuk berubah menjadi bangunan besi - besi dan beton, tak ubahnya sebuah istana negara bagi mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. 

Aku, Ayah, dan Ibu banyak mengabiskan waktu di rumah ini. Kami biasanya duduk di Warung depan rumah kami yang sampai sekarang juga masih ada. Berlari dan bercanda dengan mereka, itulah aku dimasa kecilku. Bagiku rumah ini seperti sebuah museum yang menyimpan sejarah disetiap sudutnya. Mulai dari kamar, warung, halaman samping, bahkan toilet yang kini sudah berpindah tempat menjadi suatu hal yang sangat sarat dengan ingatanku akan masa kecil. Dulu di halaman belakang rumah ini terdapat sebuah kadang ayam dan bebek. Disanalah ayah selalu menyanyikan lagu untukku, lagu dalam bahasa jawa yang sampai sekarangpun aku masih mengingatnya. Ada juga kenangan yang sedikit miris di rumah ini, waktu itu aku masih berumur sekitar 2 tahun. Ibu membuka jendela kamar, aku berada di tempat tidur. Saat ibu keluar untuk mengambilkanku minum, aku beranjak mendekati jendela tersebut hingga tak ku sadari bahwa sebenarnya aku mendekati bahaya. Ya Tuhan, aku terjatuh ke bawah, aku terjatuh melompati jendela itu. Ayah sangat marah sekali karena kelalaian ibu yang membuatku terluka. Di dahiku bekas luka itu masih saja ada sampai aku beranjak dewasa ini.

Aku dan Ayah tak ubahnya seorang sahabat, kemana - mana ayah selalu mengajakku. Tidak jauh dari rumah kami, ada sebuah warung bakso kecil langganan ayah, dulu hanya warung itu saja yang ada. Kami berdua sering sekali pergi ke sana untuk makan bakso, sembari ayah menyuapiku. Dari sudut ke sudut, dari 1990 hingga saat ini, rumah ini tidak banyak mengalami perubahan. Sampai sekarang aku masih saja nyaman tinggal di sebuah kamar kecil berukuran 3 x 4 di rumah ini. Benar - benar Oemah No. 187 adalah rumah yang paling bersejarah untukku dulu, kini, dan sampai kapanpun".



Tidak ada komentar:

Posting Komentar